Thursday 26 March 2015

Kritik Ustaz Felix Siauw Soal Selfie

Ustaz Felix Siauw mengkritik budaya foto selfie yang dirasanya saat ini sudah kebablasan. Kritikan itu disampaikan melalui media twitter berujung kehebohan di dunia maya
Felix Siauw dalam akun twitter pribadinya @felixsiauw menyatakan selfie yang berlebihan dapat menyebabkan sifat takabburriya, dan ujub. Kemunculan sifat takabburriya,dan ujub adalah masalah niat diawali dariselfie yang kebablasan.
Felix menyebutkan sifat takkabur bisa muncul bila kita selfie, lalu merasa lebih keren, eksis, lebih baik dari orang lain. Dari situ, kata ustaz, jatuhlah kita pada sifat yang paling buruk yaitu takabbur.
Untuk sifat riya, kata felix, bila kita selfie lalu upload di media sosial, berharap desperately di-komen, di-like, di-view. Dari situ, kita sudah masuk perangkap riya. Sedangkan untuk sifat ujub, bila kita selfie, mencari pose terbaik, memilih-memilah, lalu takjub dan kagum dengan diri kita. Itu sudah termasuk ujub.
Dia menekankan selfie pada akhirnya akan berujung pada mematikan hati, membakar habis amal, dan membuatnya layu hati. Dirinya juga menekankan kemulian wanita yang hilang saat ini ketika selfie dilakukan secara kebablasan. Sumber 

Kisah Istri Sholehah

Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :
Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.
Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa’) tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya…
Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut.
Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.
Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal al-Qur’an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.
Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.
Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya.
Pada suatu hari di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku…
Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.
Putriku bercerita :
Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.
Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, “Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??”
Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do’aku, “Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa ‘Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Mut’aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…
Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…
Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”
Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.
Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., “Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?”. Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…
Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, “Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!”. Maka aku berkata kepadanya, “Aku ini putrimu Asmaa'”. Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.
Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- : “Subhaanallahu…”. Dokter yang lain dari Mesir berkata, “Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…”. Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??
Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa’ akhirnya kembali lagi bagi kami sebagaimana biasnya yang aku mengenalinya, sementara usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra, Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…
Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do’a…, sesungguhnya tidak ada yang menolak qodoo’ kecuali do’a…barang siapa yang menjaga syari’at Allah maka Allah akan menjaganya.
Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut mengatur…
Ini adalah kisahku sebagai ‘ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup…
Maka ketuklah pintu langit dengan do’a, dan yakinlah dengan pengabulan Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil ‘Aaalamiin (SELESAI…)
          Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
          Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
          Hiaslah do’amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
          Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya… Sumber 

Mengatasi Dengki dalam Berniaga

Alhamdulillah! Segala puji hanya milik Alloh Swt. dan selalu kembali kepada-Nya. Semoga Alloh Yang Maha Memberi Rezeki, menjadikan kita termasuk kepada golongan orang-orang yang bersih hati, jauh dari iri dan dengki. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rosululloh Saw.
Saudaraku, salah satu ujian dalam perniagaan adalah ujian kedengkian. Terutama bagi mereka yang berjualan saling berdekatan padahal barang yang dijualnya tidak jauh berbeda. Jika kondisi ini dihadapi dengan keadaan hati yang kurang iman, maka akan rentan sekali menjadi lumbung dosa dan permusuhan.
Tetapi bagi orang yang bertauhiid, ia akan yakin bahwa hanya Alloh yang kuasa membagikan rezeki. Ia akan terhindar dari hati yang kotor. Karena ia meyakini bahwa setiap orang yang berjualan itu sudah dilahirkan pasti satu paket dengan rezekinya masing-masing.
Jangankan toko atau warung-warung yang berdampingan dengan barang jualan yang hampir mirip, orang yang satu rumah saja, kakak beradik misalnya, pasti akan beda rezekinya. Jadi, memang tidak perlu ada kedengkian sebenarnya. Rezeki Alloh tidak pernah meleset.
Lantas apa hikmahnya manakala kita sebagai penjual melihat ada pesaing dalam perniagaan kita? Hikmahnya adalah kita bisa lebih banyak belajar. Kalaupun nanti pesaing kita mendapatkan keuntungan dari perniagaannya, keuntungan yang melebihi keuntungan yang kita dapatkan, maka tidak masalah karena itu memang sudah rezekinya. Tidak boleh ada sakit hati, tidak perlu ada iri dan dengki.
Kita berlomba-lomba untuk mendapatkan ilmu dan pelajaran dari pesaing, supaya kita lebih baik dalam berbisnis di jalan Alloh Swt. Hadirnya pesaing bukanlah untuk melahirkan perasaan tidak suka kepadanya, apalagi manakala ia mendapat keuntungan.
Pendengki itu susah melihat orang lain senang, dan senang melihat orang lain susah. Satu hal yang sangat perlu kita camkan adalah bahwa kedengkian kita kepada orang lain itu sama sekali tidak akan mengubah takdir Alloh kepada orang tersebut. Kalau Alloh memang mau memberi rezeki kepada seseorang, maka pasti sampai. Begitu pula kalau Alloh mau memberi rezeki kepada kita, pasti sampai kepada kita.
Tidak ada siapapun dan apapun yang bisa menghalangi kehendak Alloh Swt. Bersatu jin dan manusia untuk menahan rezeki Alloh terhadap kita, maka mereka tak bisa menahannya.
Orang yang beriman, tidak akan dikotori oleh kedengkian dalam berniaga. Rosululloh Saw. bersabda,“Jauhkan diri kalian dari dengki, karena dengki akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)
Saudaraku, marilah kita senantiasa luruskan niat dalam berniaga. Selalu bersyukur atas apa yang Alloh berikan kepada kita. Dan, senang melihat orang lain mendapatkan rezeki dari Alloh Swt. In syaa Alloh kita akan selalu mendapatkan pahala-Nya. Mungkin kita belum mendapat keuntungan yang besar, tapi setiap hal kecil yang kita lalui dalam perniagaan haruslah menjadi amal sholeh, agar bernilai ibadah dalam penilaian Alloh Swt. Wallohua’lam bishowab.[] Sumber 

Niaga Menjadi Ibadah

Alhamdulillah! Tak ada satupun perkataan dan bisikan kecuali pasti Alloh Swt. mendengarnya. Tak ada satupun perbuatan dan rahasia kecuali pasti Alloh Swt. menyaksikannya. Tak ada satupun peristiwa sekecil apapun kecuali pasti Alloh Swt. mengetahuinya. Subhaanalloh! Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.
Saudaraku, bagi kita sebagai muslim, setiap aktifitas haruslah menjadi ibadah. Termasuk urusan jual beli. Karena waktu adalah bekal pulang kita, dan jual beli pastilah menggunakan waktu.
Sesuatu menjadi ibadah syaratnya minimal ada dua. Pertama, niatnya lurus lillaahi ta’ala. Kedua, caranya baik dan benar sesuai yang diridhoi oleh Alloh Swt dan dicontohkan oleh Rosululloh Saw.
Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa hanya Alloh Swt. yang kuasa memberi rezeki, ini akan membuatnya berbeda dengan orang yang sekedar bisnis biasa. Bagi pecinta akhirat, bisnis adalah ibadah. Sedangkan bagi pecinta dunia, akan berpikir bahwa rezeki itu datang dari makhluk.
Bagi orang yang yakin kepada Alloh Swt., dia akan ajeg tak mudah goyah meyakini bahwa rezeki hanyalah datang dari Alloh Swt. Kita diciptakan oleh Alloh Swt. secara lengkap dengan rezekinya. Alloh Swt. berfirman, “Tidak ada satupun makhluk melata di bumi ini melainkan dicukupi rezekinya oleh Alloh.” (QS. Huud [11] : 6)
Artinya, Alloh Swt. tidaklah menyuruh kita untuk mencari rezeki, melainkan Alloh menyuruh kita untuk menjemput rezeki. Ada perbedaan antara ‘mencari’ dan ‘menjemput’. Kalau ‘mencari’ itu antara ada dan tiada, sedangkan ‘menjemput’ itu pasti ada, hanya saja apakah kita terampil untuk mendapatkannya ataukah tidak. Gambarannya seperti kita menjemput anak yang sedang berada di blok M, tapi kita malah menjemput ke blok C, tentu tidak akan bertemu.
Alloh Swt. telah menebarkan rezeki-Nya di alam raya ini, bahkan tidak jauh dari tempat kita berada. Hanya saja apakah cara kita mendapatkannya baik dan benar sesuai dengan tuntunan-Nya, maka itu akan mempengaruhi keberkahan rezeki kita.
Perniagaan atau bisnis kita adalah ladang amal sholeh bagi kita, cara kita menjemput rezeki yang telah Alloh janjikan bagi kita. Maka, menjemputnya mestilah dengan langkah-langkah yang ada dalam ridho Alloh Swt. Sehingga perniagaan kita tidak hanya mendatangkan kemanfaatan di dunia semata, melainkan juga menjadi investasi jangka panjang bagi kita di akhirat kelak. Mari, menjadikan perniagaan kita sebagai amal sholeh kita.[] Sumber 

Kita Butuh Petunjuk Allah

Segala puji hanya milik Alloh Swt. Tak ada yang bisa melampaui kekuasaan-Nya, bahkan mendekati dan menyamai saja tidak ada. Segala pujian hanya kembali kepada Alloh Swt., Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.
Saudaraku, kita sangat membutuhkan petunjuk atau hidayah Alloh Swt. Baik untuk urusan yang besar maupun urusan yang kecil. Kita perlu petunjuk Alloh, untuk yakin kepada janji Alloh. Kita pun perlu petunjuk Alloh, tentang bagaimana menjemput rezeki-Nya dengan cara yang halal, dengan cara yang Alloh ridhoi.
Demikian juga kalau kita sudah mendapatkan rezeki, maka kita perlu petunjuk Alloh supaya kita bisa membelanjakan rezeki itu di jalan yang Alloh ridhoi. Kalau kita hendak bersedekah, maka kita perlu petunjuk Alloh supaya niat kita ikhlas hanya mengharap penilaian Alloh semata. Kita memerlukan petunjuk Alloh dalam segala hal.
Alloh Swt. berfirman, Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr [103] : 1-3)
Dari ayat ini kita bisa mengetahui dengan daya pemahaman kita yang lemah dan terbatas, bahwa Alloh Swt. menghendaki kita untuk ber-tawasau bil haq wa tawasau bish shobr, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, karena inilah salah satu jalan datangnya petunjuk Alloh Swt.
Saudaraku, ada orang yang sedang tersesat saja bisa Alloh berikan petunjuk kepadanya sehingga ia bisa menemukan jalan. Maka, apalagi bagi orang yang benar-benar meminta petunjuk kepada-Nya.
Hanya saja kita seringkali tidak peka terhadap petunjuk Alloh. Kita inginnya petunjuk Alloh itu sesuai saja dengan keinginan atau hawa nafsu kita. Kita inginnya petunjuk Alloh itu berbentuk kejadian atau situasi yang enak-enak saja, yang nyaman-nyaman saja.
Padahal Alloh Swt. adalah pencipta dan pemilik kita. Alloh Maha Mengetahui bagaimana keadaan kita, kekuatan dan kelemahan kita, sehingga tentu saja Alloh yang lebih mengetahui petunjuk seperti apa yang lebih tepat untuk kita sehingga kita bisa tetap berada di jalan-Nya.
Petunjuk Alloh itu banyak bentuknya, dan tidak selalu harus cocok dengan keinginan kita. Kadang petunjuk Alloh memang datang dengan bentuk yang nyaman dan menyenangkan. Namun, kadang pula Alloh memberi petunjuk kepada kita berupa kepahitan dan kesulitan. Dalam kedua kondisi ini kita perlu melatih diri untuk peka dan bersegera menangkap maksud Alloh Swt. di balik setiap peristiwa.
Saudaraku, kita meminta petunjuk Alloh Swt. namun tidak usah mengatur Alloh tentang bagaimana petunjuk itu datang kepada kita. Karena Alloh Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Bisa saja petunjuk Alloh itu datang lewat majelis ta’lim yang kita hadiri. Atau bisa saja petunjuk Alloh itu datang lewat sebuah kejadian yang kurang mengenakan sehingga membuat kita introspeksi diri dan bertaubat.
Yang pasti setiap kejadian yang Alloh takdirkan terjadi maka pastilah mengandung kebaikan bagi kita. Maka dari itu, marilah kita senantiasa pinta kepada Alloh agar Alloh selalu melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita dan kita pun diberikan kepekaan untuk segera mengambil hikmah dari setiap kejadian. Sehingga apapun kejadian yang menimpa kita, selalu bisa menjadi jalan untuk kita bisa semakin mengenal dan dekat dengan Alloh Swt. Wallohua’lam bishowab.[] Sumber 

Semua Tidak Ada Yang ''Kebetulan''

Semoga Alloh Swt. Yang Maha Menatap, senantiasa memberikan kepada kita taufik dan hidayah. Sungguh tidak ada artinya kita hidup di dunia jika tanpa petunjuk Alloh Swt. Bagai tersesat di hutan belantara yang gelap gulita di malam hari tanpa setitikpun cahaya. Hanya kepada Alloh kita memohon petunjuk dan pertolongan.
Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rosululloh Saw., rosul akhir zaman pembawa cahaya Islam.
Saudaraku, kita harus meyakini bahwa tidak ada satupun kejadian di alam semesta ini yang kebetulan. Tidak ada satupun peristiwa yang sia-sia tanpa makna. Sesungguhnya Alloh Swt. Maha Kuasa, semuanya mutlak ada dalam kekuasaan-Nya.
Saat berjalan, tiba-tiba kaki kita menginjak kulit pisang sehingga kita terpeleset. Mungkin kita langsung menggerutu dan kesal kepada orang yang telah membuang kulit pisang itu sembarangan. Orang tersebut salah jika memang sengaja membuangnya sembarangan. Tapi, ada yang lebih penting untuk kita pikirkan. Yaitu, mengapa dari sekian banyak orang yang lewat, harus kita yang mengalami kejadian itu?
Yakinlah bahwa setiap kejadian di alam ini ada dalam kekuasaan dan pengetahuan Alloh Swt. Kejadian seperti demikian itu bukanlah kebetulan. Tidak akan terjadi jikalau Alloh tidak mengizinkan. Lantas mengapa terjadi pada kita? Di sinilah ujian bagi kita, apakah akan meresponnya dengan mengutuk keadaan, ataukah segera beristighfar mengintrospeksi diri. Bisa jadi ini pengingat dari Alloh Swt., siapa tahu kaki kita sangat jarang melangkah ke masjid untuk sholat berjamaah.
Alloh Swt. berfirman, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 191)
Bahkan, bagi orang yang keyakinannya kepada Alloh sudah lebih kuat dan terlatih, akan mensikapi setiap kejadian sepahit apapun, dengan respon terbaik berupa dzikir dan tafakur. Sehingga ia menjadi orang yang beruntung karena setiap kejadian bisa menjadi wasilah mendekatkan diri kepada Alloh Swt. Semakin ia melatih diri dengan cara seperti ini, maka semakin Alloh Swt. mencintainya. Semakin ia sabar, semakin Alloh ridho kepadanya, semakin Alloh memudahkan setiap urusannya. MaasyaaAlloh!
Seekor lalat. Serangga kecil yang seringkali berada di tempat kotor, mungkin selalu kita anggap remeh tak berarti. Kehadirannya sambil lalu saja, seringkali luput dari tafakur kita. Padahal, secara ilmiah terbukti bahwa setiap lalat hinggap di satu titik tempat, maka akan ada perubahan zat kimia di tempat itu yang disebabkan enzim yang di bawa lalat itu. Dan, hal ini sudah dijelaskan oleh Alloh Swt, “..Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu..” (QS. Al Hajj [22] : 73).
Saudaraku, sungguh tak ada yang kebetulan di dunia ini dan tak ada yang sia-sia. Ada kekuasaan Alloh di balik setiap peristiwa dan selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Sekecil apapun kejadian, semoga bisa menjadi bahan introspeksi diri, bahan tafakur bagi kita, dan sarana mendekatkan diri kepada Alloh Swt.Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.[] Sumber 

Penyakit Gengsi

Alhamdulillah! Tak ada yang patut disembah selain Alloh Swt. Hanya kepada Alloh kita semua akan kembali. Semoga Alloh Yang Maha Mendengar setiap doa, senantiasa membimbing kita sehingga kita termasuk kepada golongan hamba-Nya yang bersyukur. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rosululloh Saw.
Saudaraku, gengsi adalah penyakit yang menyesakkan dada, membuat hati tertekan, merasa terhimpit, dunia ini terasa sangat sempit. Ada orang yang karena gengsi naik angkot, maka dia memaksakan naik taksi, padahal ia tidak mampu dan memang tidak perlu. Sepanjang jalan ia tidak menikmati jok yang empuk di dalam taksi karena matanya gelisah melihat argo yang terus bertambah.
Ada juga orang yang datang ke sebuah acara mengendarai motor lama. Karena gengsi, ia berusaha datang lebih awal, kemudian mencari tempat parkir yang agak tersembunyi. Ada lagi orang yang memaksakan diri mencicil ponsel baru yang mahal hanya karena gengsi di depan teman-temannya memakai ponsel lama yang dipikirnya sudah ketinggalan zaman. Maa syaa Alloh.
Betapa menderita hidup yang demikian. Menuruti keinginan, bukan kebutuhan. Memaksakan diri, tanpa melihat kemampuan. Mengikuti pandangan orang, tanpa memikirkan kebaikan dan keburukan. Semua itu terjadi karena gengsi.
Gengsi itu sama bahayanya dengan ‘ujub dan minder. Semuanya sama-sama perwujudan dari cinta dunia. Gengsi muncul karena hati sudah terpaut dengan dunia, menjadikan dunia sebagai tolak ukur kemuliaan. Padahal yang dikejar kemuliaan di pandangan manusia. Apalah artinya mulia di pandangan manusia, tapi sia-sia di pandangan Alloh Swt.
Saudaraku, tidakkah kita ingat pada sabda Rosululloh Saw., Demi Alloh, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku kahwatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak perlu kita gengsi memakai motor gara-gara mobil kita dijual. Tidak perlu kita gengsi tinggal di rumah kontrakan. Demi Alloh.. Semua yang ada di dunia ini milik Alloh. Yang kita miliki, yang masih kita cicil atau yang kita sewa, semuanya mutlak milik Alloh. Semua itu ada di tangan kita hanya titipan saja dan hanya ujian. Tidak perlu gengsi dengan apa yang kita miliki. Gengsi adalah bentuk lain dari kufur nikmat, seolah karunia yang Alloh berikan kepada kita tiada berarti. Maa syaa Alloh.
Alloh Swt. berfirman,
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬ وَزِينَةٌ۬ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٌ۬ فِى ٱلۡأَمۡوَٲلِ وَٱلۡأَوۡلَـٰدِ‌ۖ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadiid [57] : 20)
Semoga kita bisa mengendalikan diri dari penyakit gengsi. Pastikan kita memakai dan memiliki atas dasar perlu, bukan sekedar mau. Ikutilah kesederhanaan Rasulullah Saw. dan para sahabat serta salafushsholeh. Cinta dunia adalah sumber malapetaka. Semoga kita tergolong orang-orang yang selamat. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.[] Sumber 

Hukum bersumpah dengan menyebut nama selain allah

Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi, yang artinya demi Allah.
Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik” [2].
Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah -yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka’bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka’bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi, larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita boleh mengatakan “demi kemuliaan Allah…”[3].
Karena besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kalau aku bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah” [4]. Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan adalah termasuk dosa besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan daripada bersumpah secara jujur, tetapi dengan menyebut selain nama Allah dalam sumpahnya.
Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan.
Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan. Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan -menurut sebagian ulama- termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu; karena dosa syirik dosanya tidak akan diampuni. Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik”. [An Nisa` : 116].
Tidaklah Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab, kecuali untuk memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa yang paling besar. Allah berfirman :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang paling besar”. [Luqman : 13].
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : ”Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab :
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu” [5].
Syirik mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi Allah adalah pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah tidak memiliki sekutu [6].
Bila seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu meyakini bahwa yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam hal keagungan dan pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar. Akan tetapi, jika tidak, maka perbuatannya tersebut termasuk syirik kecil.
Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar. “Dan Allah akan mengampuni selain itu”, maksudnya ialah syirik kecil dan dosa-dosa besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman Allah yang menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal (kata kerja yang bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh nakirah (umum) dalam konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum, mencakup syirik besar dan kecil.
Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini” -QS Al Balad ayat 1- atau ayat “demi malam apabila telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.
Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah, dan Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah dengan menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya. Dialah yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan yang akan dihukumi.
Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini menjadi dalil tentang keagunganNya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmahNya, sehingga sumpah tersebut menunjukan kebesaranNya, serta ketinggian derajatNya yang mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifatNya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapaknya, bila dia benar” [7], terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :
1). Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : “Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya “shadaqah apakah yang paling utama?”, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya” [8].
Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa’ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [9]. Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.
Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah ini.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a’lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821] ________
Footnote
[1]. Al Qaulul Mufid : 2/213.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsrinya (1/57). Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal 587): ‘Sanadnya jayyid’.
[3]. Opcit.
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902). Al Mundziri berkata dalam At Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 4/177 :” Para perawinya merupakan para perawi (kitab) Shahih.”
[5]. HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
[6]. Al Qaulul Mufid : 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
[7]. HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Muslim bab shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.
[9]. Sa’d Bin Abi Waqash berkata:”Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi n menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! ” Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil (8/193).
[10]. Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217Oleh
Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi, yang artinya demi Allah.
Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik” [2].
Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah -yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka’bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka’bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi, larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita boleh mengatakan “demi kemuliaan Allah…”[3].
Karena besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kalau aku bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah” [4]. Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan adalah termasuk dosa besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan daripada bersumpah secara jujur, tetapi dengan menyebut selain nama Allah dalam sumpahnya.
Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan.
Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan. Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan -menurut sebagian ulama- termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu; karena dosa syirik dosanya tidak akan diampuni. Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik”. [An Nisa` : 116].
Tidaklah Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab, kecuali untuk memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa yang paling besar. Allah berfirman :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang paling besar”. [Luqman : 13].
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : ”Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab :
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu” [5].
Syirik mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi Allah adalah pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah tidak memiliki sekutu [6].
Bila seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu meyakini bahwa yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam hal keagungan dan pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar. Akan tetapi, jika tidak, maka perbuatannya tersebut termasuk syirik kecil.
Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar. “Dan Allah akan mengampuni selain itu”, maksudnya ialah syirik kecil dan dosa-dosa besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman Allah yang menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal (kata kerja yang bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh nakirah (umum) dalam konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum, mencakup syirik besar dan kecil.
Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini” -QS Al Balad ayat 1- atau ayat “demi malam apabila telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.
Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah, dan Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah dengan menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya. Dialah yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan yang akan dihukumi.
Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini menjadi dalil tentang keagunganNya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmahNya, sehingga sumpah tersebut menunjukan kebesaranNya, serta ketinggian derajatNya yang mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifatNya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapaknya, bila dia benar” [7], terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :
1). Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : “Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya “shadaqah apakah yang paling utama?”, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya” [8].
Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa’ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [9]. Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.
Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah ini.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a’lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821] ________
Footnote
[1]. Al Qaulul Mufid : 2/213.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsrinya (1/57). Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal 587): ‘Sanadnya jayyid’.
[3]. Opcit.
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902). Al Mundziri berkata dalam At Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 4/177 :” Para perawinya merupakan para perawi (kitab) Shahih.”
[5]. HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
[6]. Al Qaulul Mufid : 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
[7]. HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Muslim bab shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.
[9]. Sa’d Bin Abi Waqash berkata:”Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi n menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! ” Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil (8/193).
[10]. Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217 Sumber

Ratusan Anggota Geng Motor ini Tobat dan Zikir Bareng Ust Arifin Ilham

ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMD, hari sabtu dhuha ini geng motor terbesar, Brigez yang beranggota 30 ribu biker mengundang abang untuk berzikir.
Ketika Kiki, ketua lapangan Brigez datang ke rumah abang mengajak abang berzikir.
“Bang, kami sudah cape ma’siyat mulu, bimbing kami hijrah, kami banyak berbuat dosa, terutama saya bang” tutur dan pinta Kiki ke abang.
Abang pun sangat senang melihat semangat Kiki mengajak gengnya bertaubat.
“SubhanAllah Kiki, abang juga banyak dosa, ayo kita bersama sama berhijrah” jawab abang.
SubhanAllah jamaahnya yang ada hadir banyak remaja yang pakai anting, kalung, bertato, yang penting dan utama bagi abang, kita sama sama berhijrah.
Sungguh sahabatku, Allah sangat mencintai hambaNya yang bertaubat (QS Al Baqoroh 222).
Allah berfirman dalam hadist qudsi, “engkau hambaKu, ta’kala engkau melakukan ma’siyat, engkau meninggalkanKu. Ketahuilah hambaKu, ta’kala engkau sudah lelah dengan dosa ma’siyatmu, engkau sangat menyesal, lalu engkau bertaubat pulang kepadaKu, sungguh engkau menjumpaiKu sebagai Robb yang Maha Pengasih Penyayang yang mengampuni seluruh dosa dosamu”.
ALLAHU AKBAR, karena itu tiada kesempatan terindah yang paling bersejarah dalam hidup di dunia sebentar ini selain kesempatan bertaubat.
Selamat hijrah sahabat sahabatku Brigez, semoga Allah mengampuni semua dosa kita, dan menerima taubat kita…aamiin. Sumber

Pentingnya Niat dalam Amal

Mari kita ajukan sebuah pertanyaan, ‘’Apakah yang menjadi penyebab amal ibadah kita tidak diterima Alloh Swt?’’ Jawaban yang paling mendasar adalah karena salah niat.
Di akhirat kelak ada seorang mujahid yang mati di medan perang,seorang yang rajin sedekah, dan seorang lagi pembaca Al-Quran, namun mereka masuk neraka. Mengapa? Karena salah dalam niat. Mari kita simak keterangan berikut ini.
Abu Hurairoh ra meriwayatkan, bahwa ia pernah mendengar Rosululloh Saw bersabda, ‘’Manusia yang pertama diadili padahari Kiamat nanti adalah orang yang mati di medan jihad. Orang itu didatangkan di hadapan Alloh. Kemudian, ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya.
Alloh bertanya kepadanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Ia menjawab, ‘’Aku telah berperang membela agama-Mu.’’ Lalu, Allah berkata,
‘’Engkau berbohong. Engkau berperang agar orang-orang menyebutmu seorang pemberani.’’ Kemudian, Alloh memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka.
Kemudian, seorang penuntut ilmu sekaligus rajin membaca Al Quran, dihadapkan kepada Alloh. Lalu, ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya. Alloh bertanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Dia menjawab, ‘’Aku menuntut ilmu, mengamalkannya dan aku membaca Al Quran dengan mengharap ridho-Mu.’’
Alloh berkata kepadanya, ‘’Engkau berbohong. Engkau mencari ilmu supaya orang menyebut engkau sebagai seorang alim. Dan, engkau membaca Al Quran agar orang lain menyebutmu rajin membaca Al Quran.’’ Kemudian, Alloh memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka.
Selanjutnya, seorang kaya raya dan terkenal dermawan, dihadapkan kepada Alloh. Lalu, ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya. Alloh bertanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Ia menjawab, ‘’Semua harta yang aku miliki tidak aku sukai, kecuali aku sedekahkan karena-Mu.’’
Lalu, Alloh berkata, ‘’Engkau berbohong. Engkau melakukan itu agar orang-orang menyebut engkau sebagai dermawan dan murah hati.’’ Kemudian Alloh memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka.
Abu Hurairah berkata, ‘’Kemudian, Rosululloh menepuk pahaku dan berkata, ‘’Wahai Abu Hurairoh, mereka adalah manusia pertama yang merasakan panasnya api neraka Jahanam di hari kiamat nanti.’’ (Hadist Riwayat Muslim)
Subhanalloh! Padahal bukankah mati syahid itu sangat besar ganjarannya di sisi Alloh Swt. Akan tetapi ganjaran yang besar itu tak akan pernah ada jika ternyata orang tersebut salah niat. Tidak fokus dalam niatnya. Betapa rugi sekali orang seperti ini.
Seorang pencari ilmu yang sudah memiliki gelar berderet-deret, pekerjaan yang mentereng dengan gaji yang besar. Namun, ternyata untuk semua hal-hal duniawi itulah dia mencari ilmu. Bukan demi ridho Alloh. Demi sanjungan dan penghargaan dari manusia yang memandangnya sebagai
orang berilmu. Maka, sia-sialah semua itu di hadapan Alloh Swt.
Seorang pembaca Al Quran yang rajin tilawah dan merdu suaranya, namun ternyata bukan ridho Allh yang dikejarnya meski yang keluar dari lisannya adalah bacaan ayat-ayat Al Quran. Ia mengejar decak kagum dari manusia yang menyebutnya sebagai seorang qori atau qoriah. Ia mengejar sertifikat, piala dan hadiah-hadiah dari lomba-lomba pembacaan Al Quran. Maka, semua yang diperbuatnya menjadi percuma di hadapan Alloh Swt.
Termasuk juga orang yang bergiat dalam dunia dakwah. Bisa jadi yang ada di dalam hatinya adalah harapan agar dipandang oleh orang sebagai seorang dai. Yang ada dalam pikirannya adalah angka-angka berapa honor yang akan ia terima. Tiidak ada Alloh di hatinya, meski yang ia sampaikan adalah ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Rosululloh Saw.
Seorang yang gemar mendermakan hartanya, namun bukan penialian Allloh yang ia harapkan, maka ia telah tersesat dalam niatnya. Apa yang ia harapkan adalah kekaguman orang lain yang memandangnya sebagai seorang dermawan. Apa yang ia harapkan adalah sorotan dan jepretan kamera wartawan yang akan memberitakan perihal kegiatannya membagi-bagi sebagian dari hartanya.
Saudaraku, jadi bukan karena kurang kerja keras, amal menjadi tidak bernilai, tetapi karena salah niat yang tidak fokus kepada Alloh Swt.
‘’Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (QS. Adz Dzariyat (51):56).
Jelas sekali ayat ini menegaskan kepada kita dengan terang-benderang bahwa sudah semestinya yang menjadi fokus kita adalah Alloh Swt dalam setiap amal perbuatan kita. Sehingga apa yang kita lakukan menjadi bernilai ibadah di hadapan Alloh Swt.
Jika Alloh Swt menjadi fokus kita, maka niscaya akan tenang hati kita. Mengapa ada orang yang ketika merasa disakiti oleh orang lain, kemudian dia tenggelam dalam rasa kecewa, sakit hati dan dendam berkepanjangan? Kemudian, ia pun tersiksa oleh perasaannya itu. Mengapa demikian? Karena dia hanya fokus kepada mahluk, kepada manusia yang telah menyakitinya itu.
Lain halnya jika orang itu kemudian fokus kepada Alloh semata, Dzat yang Maka Kuasa atas segala sesuatu, maka niscaya akan terobati rasa sakit hatinya. Hidupnya akan menjadi tenang dan tenteram kembali. Karena ia yakin segala sesuatu terjadi atas izin-Nya, dan tidak ada kejadian di alam raya ini yang terjadi secara sia-sia, pasti ada kebaikan yang terkadung di dalamnya.
Ingat rezeki, segera fokus kepada Alloh yang menggenggam rezeki. Ingat ke anak, segera fokus kepada Alloh yang telah menitipkannya kepada kita. Ingat ujian sekolah segera fokus kepada Alloh yang telah mengkarunia akal pikiran. Ada yang memfitnah, segera fokus kepada Alloh Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Punya hutang, segera fokus kepada Alloh Yang Maha Kaya.
Jika yang menjadi fokus kita hanya Alloh, maka Insya Alloh, Dia akan membimbing kita dalam setiap aktifitas kita. Sehingga setiap yang kita lakukan bisa mencapai tingkat yang maksimal. Fokus kepada Alloh akan menghadirkan semangat yang luar biasa di dalam hati kita. Seperti para mujahidin di medan jihad, ketika hanya Alloh yang menjadi fokus tujuan mereka, maka mereka akan melakoni jihad tersebut dengan semangat bergelora tanpa ada rasa takut terhadap makhluk sedikit pun.
Betapa penting untuk fokus hanya kepada Alloh Swt, semata. Agar kita semakin semangat melihat diri untuk lurus dalam niat, fokus hanya mengharap ridho Alloh, bukan yang selain-Nya. Dan, meraih prestasi terbaik di dunia dan akhirat. Sumber